Sabtu, 05 Februari 2011

Pendidikan Indonesia: Cerita Kegagalan di Zaman Otonomi Daerah (1)

| Sabtu, 05 Februari 2011 | 0 komentar

magnify
Memperbincangkan carut marut pelaksanaan sistem pendidikan Indonesia saat ini tidaklah lengkap apabila tidak mengikutsertakan struktur system yang dibangun dan kebijakan pendidikan yang ambil oleh Orde Baru. Berusaha mencontek kemajuan negara2 barat yang ‘katanya’ lebih maju, pemerintah Orde Baru sebenarnya tidak benar2 berusaha mengkopi sistem yang berlaku di negara maju, melainkan hanya bereksperimen dengan ‘ramuan2an’ yang dibuat oleh para elit-elitnya sendiri. Hasil ramuan eksperimen yang berbahaya tersebut tak heran menghasilkan buah yang pahit yang harus ditelan oleh anak bangsa negeri ini. Para pembuat kebijakan kita dahulu sangat gemar untuk ‘berbelanja ide’ di luar negeri. Berbelanja ide seperti ini sangatlah praktis, karena tidak membutuhkan kerja keras seperti penelitian puluhan tahun atau sebangsanya. Modalnya sangat mudah, misalnya cukup dengan studi banding atau ikut seminar ke luar negeri, ide2 pendidikan dengan mudahnya didapat. Entah itu dari apa yang dilihat, didengar dan dibaca disana. Berbelanja ide dengan pendekatan ‘window shopping’ (berbelanja etalase toko) seperti ini sebenarnya sangat berbahaya. Karena kacamata seorang orang asing (tourist) sangatlah tidak setajam kacamata orang local, yang puluhan tahun tinggal dan bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bagi para tourist semua terasa indah dan sempurna, karena high expectation (harapan tinggi) yang sudah terlanjur ada dibenaknya sebelumnya. Penulis sendiri pernah mengantar salah satu ‘peneliti’ dari Depdiknas untuk ‘studi banding’ ke salah satu SD di LN. Ternyata ‘studi banding’ tersebut tidak lebih sebatas hanya bertanya jawab dengan kepala sekolah selama 30 menit (itupun tanpa mencatat atau merekam jawaban yang diberikan) dan berjalan berkeliling sekolah dan melihat suasana kelas sambil mengambil gambar selama 30 menit. Bisakah waktu +/- 1 - 2 jam yang dihabiskan disekolah tersebut cukup memberi informasi yang berharga bagi si pembuat kebijakan sepulangnya nanti ke Tanah Air? Tak heran bila ‘ide2 yang dipinjam’ dari luar tersebut sering parsial, tidak lengkap dan hanya kulit2nya saja. Ibarat ingin membuat kue dengan modal hanya secarik kertas resep dan sekeranjang bahan2nya yang beli di supermarket atau pasar. Namun kita tidak pernah benar2 melihat orang membuat kue itu dengan mata sendiri. Kita hanya bereksperimen menggenggam secarik resep sambil berhayal untuk bisa membuat kue dari situ. Itulah yang dilakukan oleh para elit di zaman Orde Baru. Tak heran bila kita familiar dengan istilah ‘Ganti Menteri, Ganti Kebijakan’. Kita bereksperimen secara bebas dengan model yang diimport baik dari barat dan dari timur, karena memang strategi Orde Baru sendiri untuk pendidikan sebenarnya tidak ada. Sejak 1997 Indonesia menjadi ‘pasien’ agen dana Internasional seperti IMF, World Bank dan ADB. Sebagai penerima donor kita harus mau ‘tunduk’ dan menelan obat yang mereka resepkan. Tetapi syaratnya sangat mahal: kita harus merestrukturisasi sistem pemerintahan yang tidak efektif - misalnya melalui pemberian otonomi kepada daerah, mengubah praktek negara dari birokrasi otoriter (authoritarian bureaucratic state) menjadi lebih demokrasi dan mengikutsertakan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan, yang lebih penting, kita harus komit dengan program structural adjustment (perubahan structural) yang mereka agendakan. Dampak ketundukan kepada syarat2 agen dana Internasional ini jelas. Kita mulai ‘memprivatisasi’ sistem pendidikan (PT dan sekolah dibebaskan menarik uang kuliah/sekolah langsung), pengurangan public spending (memotong subsidi, menaikan pajak, memprioritaskan pembayaran utang) dan melakukan proyek2 desentralisasi dibawah petunjuk, arahan dan ‘biaya’ agen asing/ Internasional. Proyek Desentralisasi Pendidikan Depdiknas Dari hasil ‘belanja ide’ diatas, munculah istilah Manajemen Berbasis Sekolah (School-based Management) diakhir tahun 1990an di Indonesia. Ide ini menjadi sangat populer dikalangan pembuat kebijakan dan masyarakat dikarenakan adanya desakan agen2 proyek pendidikan dari luar negeri ditambah dengan kondisi masyarakat yang memang sudah muak dengan sistem penyelenggaraan pendidikan Orde Baru yang terbukti tidak berhasil (padahal sama2 hasil desain dari luar). Menurut data ICW (2004) begitu besarnya desakan agen2 proyek dari LN (World Bank, ADB, Inggris, Unesco, Unicef, USAID, Selandia Baru, Belanda, dll) itu kepada pemerintah RI dapat dilihat dari banyaknya tawaran loan (utang) dan grant (hibah) yang nilainya dari ratusan ribu hingga US $ 125 juta. Proyek2 yang dilakukan dibuatlah bermacam2 dari yang namanya Basic Education Project di Jawa Barat, Sulawesi dan NTB, Junior Secondary Education Project di Jawa Timur dan NTT hingga Senior Secondary Education Project, Decentralized Basic Education dan PAKEM dan SBM. Dibiayainya proyek2 desentralisasi pendidikan melalui utang LN ini sayangnya kurang mendapat porsi berita yang layak di media massa. Yang ada justru penyataan Dirjen Depdiknas bahwa pemerintah sendiri akan dilakukannya ujicoba SBM berskala nasional di 1000 sekolah di tanah air (Kompas, 2001). Dipermukaan pemerintah berusaha memunculkan kesan bahwa MBS adalah satu2nya ‘obat mujarab’ (panacea) untuk buruknya sistem pendidikan Indonesia. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia IV (KONASPI) di Jakarta tahun 2000 bahkan dipergunakan sebagai media sosialisasi SBM oleh pemerintah. Hasilnya hampir semua peserta konvensi setuju dan percaya SBM akan membawa hasil peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia (Kompas, 2000). Tidak ada suara yang bersuara sebaliknya. Diadakannya proyek2 desentralisasi pendidikan besar2an ini sebenarnya sangat tergesa-gesa dan patut disayangkan. Ini dikarenakan ada beberapa kelemahan atau bahkan kesalahan desainnya. Pertama informasi tentang indikator pendidikan Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah sebenarnya tidak akurat dikarenakan keterbatasan kapasitas dan tenaga pengumpulan data yang dimiliki (Boediono dan Adams, 1997). Kedua sebagaimana yang diindikasikan oleh staf menengah Depdiknas yang penulis wawancarai tahun 2002, kebijakan2 Depdiknas sering mengandalkan penggunaan data analisis kuantitatif dan statistik yang dibuat sebagai laporan ABS (asal bapak senang). Tak heran lembaga LSM dan tokoh independent seperti ICW, Gapsi (2003) dan Baswir (2004) meragukan kesungguhan pemerintah untuk menggunakan proyek2 tersebut sebagai usaha memperbaiki keadaan sistem pendidikan. Banyak yang percaya tindakan menerima tawaran proyek2 ini adalah indikasi ‘ketidakberdayaan’ pemerintah melawan tekanan asing. Adalah aneh, sejak dahulu kita mendengar bahwa ‘bantuan’ LN ke Indonesia dipercaya mengalami kebocoran 20 – 30 % (Djojohadikusumo, 1993; dan Kwin Gian Gie, 2003) karena praktek mark up dan korupsi. Lembaga LN seperti Transperancy Internasional (2000) dari surveynya selalu manjadikan Indonesia jawara korupsi di dunia. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Hutang LN kita dalam 2 tahun melompat dari US $ 51 billions tahun 1998 menjadi US $ 134 billions tahun 2000 atau 83 % GDP (Baird, 2000). Dalam film The New Rulers of the World karya John Pilger (2003) kita akan dibuat gregetan bila mendengar komentar pejabat tinggi IMF dengan entengnya yang menepis fakta bahwa ‘bantuan’ LN di Indonesia banyak yang hilang dikorupsi.
Bersambung…
(Sudah dikutip oleh Koran Berita MITRA OTONOMI edisi 1 - 10, 11 - 20, 21 - 30 September 2006)
dikutip dari :
http://barlinkesuma.multiply.com/journal/item/19/Pendidikan_Indonesia_Cerita_Kegagalan_di_Zaman_Otonomi_Daerah_1

Readmore..
 
© Copyright 2010. yourblogname.com . All rights reserved | yourblogname.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com - zoomtemplate.com